Hari Pahlawan ala the Brits

Poppy Merah di Nottingham Castle                  (dok. pribadi)

Ketika Indonesia merayakan hari pahlawan 10 November lalu, Inggris Raya juga merayakan hal yang serupa pada tanggal 11 November, yang dikenal sebagai Remembrance Day. Hari tersebut untuk memperingati jasa-jasa veteran perang yang gugur dalam Perang Dunia I. Tahun ini, tepat 100 tahun (1914-2014) untuk memperingati hari tersebut.

Pemandangan yang lazim sekitar 2 mingguan terakhir adalah orang-orang yang mengenakan pin bunga poppy merah. Pesan yang ingin disampaikan melalui bunga poppy ini adalah untuk mengenang mereka yang gugur di medan perang. Bunga poppy merah dipilih karena konon katanya setelah terjadi Perang Somme antara Inggris dan Perancis di dekat sungai Somme, Perancis, tumbuhlah bunga-bunga poppy warna merah di sana. Legendanya, sebelum adanya perang, tidak ada bunga poppy yang tumbuh di sana. Kemunculan misterius poppy-poppy merah ini seolah melambangkan betapa berdarahnya perang tersebut. Karena itulah, bunga poppy digunakan sebagai lambang untuk mengenang mereka yang gugur, sekaligus untuk menunjukkan betapa perang meninggalkan luka yang dalam. Gerakan ini biasa disebut poppy appeal.

IMG_1502
Poppy Appeal (dok. pribadi)
Anak-Anak Sekolah yang Membantu          Menjual Poppy (dok. Pribadi)

Poppy merah ini bisa didapatkan di museum maupun toko. Beberapa bisa diperoleh dengan mendonasikan berapapun yang kita punya. Ada pula yang dijual dengan harga 1-2 pound. Uang yang terkumpul, akan disalurkan kepada korban perang dan keluarganya.

Selain Red Poppy, ada pula yang membuat gerakan White Poppy. Gerakan White Poppy bertujuan untuk mengutuk perang, bahwa, akibat yang dibawa oleh perang hanyalah kesedihan. White Poppy ini banyak dijual di tempat yang berasosiasi dengan beberapa gereja.

Poppy Putih (dok. Pribadi)

Puncaknya, pada tanggal 11 November, jam 11 pagi tepat, orang-orang akan menghentikan aktifitasnya. Selama 10 menit, mereka akan menundukkan kepala, hening dan mengenang mereka yang gugur dalam perang. Harapannya, dengan mengingat mereka, kita akan lebih menghargai jasa-jasa mereka. Juga, untuk mengingat betapa banyak yang harus dikorbankan untuk perang. Pada hari itu, di kelas saya, dosen saya pun demikian. Di depan kelas, kami berdiri melingkar dan menghaningkan cipta selama 10 menit pada pukul 11 pagi.

Hal ini membuat saya teringat pada kenyataan bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Inggris selama 3,5 tahun. Seringkali pikiran saya melayang ketika berjalan kaki dan memperhatikan dengan seksama kota ini. Saya membayangkan, seperti apa kota ini satu abad yang lalu. Kadang saya juga bertanya dalam hati apakah ada di antara orang-orang di kota ini yang mungkin saya berpapasan dengannya, anggota keluarganya pernah menjadi tentara Inggris dan berperang dengan para pejuang kemerdekaan dulu. Biarpun tentu saja tidak menyetujui perang dan menyesalkan penjajahan Inggris, tapi, pada akhirnya siapa sih yang rela anggota keluarganya pergi ke negeri yang jauh dan berperang? Bekas dan luka yang tertinggal di pelaku perang, entah luka fisik ataupun luka mental, merupakan konsekuensi pasti yang tidak terelakan untuk semua pihak. Semoga kita jadi generasi yang dikenang dengan bangga oleh anak cucu kita karena mewariskan dunia yang lebih damai.

Di Antara Pendidikan Allah untuk Kita

So Which Blessings of Your Lord Will You Deny~?

blossom gif

Di antara pendidikan Allah untuk kita…

Adakalanya Allah memberikan ujian dan cobaan kepada kita berupa gangguan orang-orang di sekitar kita agar supaya hati kita tidak bergantung kepada siapapun kecuali bergantung kepadaNya yang Maha Esa..

Di antara pendidikan Allah untuk kita…

Adakalanya Allah memberikan ujian dan cobaan kepada kita untuk membuktikan ibadah hati kita berupa sabar, ridha dan yakin sepenuhnya kepadaNya. Dan bahwasanya kita ridha kepadanya bukan karena Dia memberikan semua keinginan kita, tapi karena kita yakin sepenuhnya bahwa Dia adalah Maha Bijaksana lagi Maha Penyayang..

View original post 555 more words

Serba Serbi Beasiswa LPDP

Nggak terasa ternyata sudah 2 bulan saya belajar di negerinya Robin Hood ini, Nottingham, dengan beasiswa dari LPDP. To my surprise, ternyata ada banyak teman-teman saya yang belum tahu beasiswa super kece ini. Jadi, coba saya rangkum pertanyaan-pertanyaan yang datang kepada saya ya. Sebenarnya, sudah banyak juga yang menulis tentang apa itu beasiswa LPDP, dan beberapa di antaranya saya jadikan referensi ketika saya mendaftar seperti blog ini: Kak Annisa Riani, Motivasi Beasiswa , dan Tri Hanifa.

Beasiswa LPDP itu apa sih?
Beasiswa LPDP ini berasal dari dana abadi Indonesia, dan merupakan kerjasama 3 kementrian: Kementrian Pendidikan, Kementrian Agama dan Kementrian Keuangan. Dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, makanya terkenal dengan beasiswa LPDP.

Apa saja dana yang di-cover?
Tuition fee, dana buku, living cost (biaya hidup bulanan), tiket PP, dan settlement allowance (dana kedatangan), biaya untuk 1 x seminar internasional (presentasi paper), dan biaya 1x untuk penerbitan jurnal. Juga, ada dana hidup untuk maksimal 2 dependant sebesar masing-masing 25% living cost kita.

Bagaimana alur daftarnya?
Daftar administrasi secara online – pengumuman lolos administrasi – wawancara (LGD, psikotes, wawancara) – pengumuman lolos wawancara – PK

Apa saja beasiswanya?
Beasiswa LPDP ada macam, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dan Beasiswa Presiden Republik Indonesia (BPRI). Selain itu ada pula Beasiswa Afirmasi (yang selain beasiswa penuh, juga meliputi pendanaan untuk persiapan bahasa), Beasiswa Tesis Disertasi (mendanai proyek thesis dan disertasi), dan Beasiswa Spesialis Kedokteran. Nah, untuk syaratnya, silakan baca selengkapnya di http://www.lpdp.depkeu.go.id

Apa bedanya BPI dan BPRI?
Dua-duanya sama-sama membiayai kuliah S2 dan S3 full time. Bedanya, kalau BPI, mendanai beasiswa untuk yang ingin berkuliah di 200 kampus terbaik dunia (bisa dilihat di http://www.beasiswa.lpdp.depkeu.go.id/website-lpdp/Daftar-Perguruan-Tinggi-Tujuan-Beasiswa-LPDP.pdf) dan tidak ada kuota pasti, sedangkan untuk BPRI, mendanai untuk yang ingin berkuliah di 50 kampus terbaik dunia (bisa dilihat di http://www.lpdp.depkeu.go.id/wp-content/uploads/2014/04/DAFTAR-50-BESAR-KAMPUS-DUNIA-BPRI.pdf) dan kuotanya hanya 100 orang per tahun.

Apa harus punya LoA (Letter of Acceptance/ Letter of Offer) dulu?
Tidak harus. Banyak teman saya sesama awardee yang belum memperoleh LoA ketika dinyatakan lolos. Tapi, alangkah baiknya ketika daftar, sudah punya bayangan pasti akan kuliah di mana. Kalau saya sendiri, sudah punya LoA – jadi sebelum saya tahu ada beasiswa LPDP, saya sudah dapat LoA.

Kalau belum punya LoA, berapa lama harus cari LoA?
Maksimal setahun setelah PK.

PK apaan sih?
PK adalah persiapan keberangkatan dan program kepemimpinan. Jadi semacam rangkaian seminar dan pelatihan mengenai keLPDPan dan keIndonesiaan.

Kalau universitas yang dituju tidak ada di daftar LPDP, terus gimana?
Yang didanai hanya yang ada di daftar LPDP.

Kira-kira saingannya lebih berat kalau Dalam Negeri atau Luar Negeri?
Tidak ada yang namanya saingan ☺ Selama memenuhi syarat dan kualifikasi LPDP, you’re in!

Kalau saya dari Indonesia Timur, tapi kuliah di Jawa, apakah boleh daftar beasiswa afirmasi?
Ya, asalkan KTP masih KTP Indonesia Timur.

Kalau saya masih ngerjain skripsi dan belum lulus apakah boleh daftar beasiswa LPDP?
Belum. Selesaikan skripsi dulu, sambil pelajari dan usahakan penuhi syarat beasiswanya. Nah, baru setelah lulus, tinggal daftar deh.

Kalau saya belum tes iBT atau IELTS apa saya bisa daftar?
Bisa, LPDP masih menerima ITP TOEFL.

Berapa kali seleksi per tahun? Kapan saja waktunya?
4 kali: periode Maret/April, Juni, September, dan Desember.

Baiknya daftar kapan?
Sekarang! Yups, secepatnya setelah semuanya lengkap. Karena nanti proses aplikasi visa, pencairan dana, persiapan keberangkatan akan makan waktu juga, jadi the sooner the better. Kalau menurut saya pribadi, paling tidak 6 bulan sebelum mulai kuliah. Jadi, misal kuliah mulai September, maka paling tidak dan akan lebih tenang kalau ikut seleksi Maret/April.

Ada ikatan dinas nggak?
Tidak ada. Asal selulus kuliah pulang ke Indonesia, itu sudah cukup.

Apa kunci sukses LGD (Leaderless Group Discussion)?
Duh, waktu saya dulu, belum ada LGD, jadi nggak bisa bilang banyak. Tapi, mungkin lebih ke sebaik dan sesantun mungkin mengungkapkan pikiran kita ya?

Ada tips untuk wawancara?
Waktu itu saya wawancara via Skype karena tidak sedang di Indonesia. Jadi, mungkin kalau yang face-to-face wawancaranya akan lebih berbeda ya. Yang coba saya bilang ke diri saya sendiri adalah: tepat waktu, mencoba senang waktu wawancara, mempelajari esai yang saya tulis lagi, memberi jawaban yang sesuai dengan diri saya, and be yourself! Maksudnya, karena pembawan saya, di wawancara apapun, saya coba sisipkan humor kecil di sela-sela wawancara dan di akhir (ya biar saya nggak stress) juga. But, this doesn’t apply to everyone. Kalau memang merasa lebih nyaman dengan serius, so just do it. Yang saya percaya, apa yang dari hati itu akan sampai benar di hati. Jadi, coba kondisikan merasa senyaman mungkin.

Apa semua peserta harus ikut Program Kepemimpinan (PK)?
Ya.

Semoga sukses! Kalau ada yang salah, mohon masukannya. Kalau ada pertanyaan, monggo, silakan. More than happy to help!

Dari Terpaksa Menjadi Terbiasa

Pernah nggak sih ngerasa nggak bisa sesuatu, dan berat banget buat memulainya? Entah karena males, malu, nggak PD, nggak ada temen, ngerasa udah terlalu telat untuk mulai ataupun alasan lainnya? Saya pernah banget, sering malahan. Tapi anehnya, banyak hal yang sekarang saya sukai adalah hal yang tadinya sungguh tidak saya sukai.

Salah satunya untuk saya adalah naik sepeda. Yup, naik kendaraan ramah lingkungan ini dulunya adalah hal yang menakutkan buat saya. Saya ingat, dulu saya pernah sangat menghindari topik pembicaraan apapun yang ada hubungannya dengan sepeda! Tiap ada orang yang membicarakan atau menyebut kata ‘sepeda’, entah dalam konteks membicarakan sepeda tandem di simpang lima, car free day, atau sekedar anak kecil di depan kos yang sedang naik sepeda, saya akan sebisa mungkin mengalihkan pembicaraan. Pasalnya, saya khawatir pembicaraan itu akan sampai pada kondisi di mana saya harus mengakui kalau saya belum bisa naik sepeda. Saya malu mengakui bahwa sudah sebesar itu tetapi saya belum bisa keahlian yang anak kecil pun bisa. Ya, biarpun sudah bisa naik motor, saya belum bisa naik sepeda.

Akhirnya, kesempatan saya datang juga. Teman kos saya punya sepeda baru, sepeda lipat. Saya nekatkan diri mencoba. Ajaibnya, saya langsung bisa! Saya kayuh dan kayuh terus sepedanya sampai saya bisa! Haha, ya mungkin karena sepedanya kecil mungkin ya. Jadi, nggak mungkin banget saya jatuh, hingga akhirnya saya PD dan langsung bisa! Dan, saya akhirnya sangat suka naik sepeda! Kok ya nggak dari dulu ya saya coba belajar!

Hal lainnya adalah memasak. Biarpun sering menemani Ibuk memasak, tapi saya sama sekali tidak bisa memasak sampai lulus kuliah. Mengingat bumbu apa saja untuk suatu masakan dan berapa banyaknya bawang putih, bawang merah, cabai, merica, ketumbar, dan kawan-kawannya lebih menantang daripada menyelesaikan soala ujian di kelas.

Pertama kalinya saya benar-benar belajar memasak adalah Ramadhan tahun lalu sewaktu saya mengetahui bahwa saya lolos beasiswa ke US – which means that cooking would be my survival kit. Gimana enggak, warung makan Indonesia terdekat jauhnya 3 jam dari tempat saya akan tinggal, belum lagi harus berhemat. Dan, jreng jreng, jadilah adik-adik kos saya yang innocent itu jadi percobaan pertama masakan saya. Ya, tapi emang pada dasarnya mereka baik hati dan mungkin lebih nggak enak hati, mereka bilang enak-enak saja. Dan, pada saat saya sendiri yang mencoba, emmm, well, bisa bikin kolesterol naik karena keasinan! Beruntung, mereka adik-adik kos yang sangat pasrah saya bully apa saja dan masih bersedia jadi kelinci percobaan eksperimen masak saya! Hehe. And guess what, I survived the US life – with all the cooking sessions, and I end up loving cooking! Nggak jago-jago banget sih, tapi suka aja 😀

Jika saya pikir-pikir dan menyalahkan kebiasaan saya ‘memaksakan diri’ ini, semuanya gara-gara organisasi kemahasiswaan yang saya ikuti. Di tahun pertama saya kuliah, kemampuan berbicara bahasa Inggris adalah kelemahan terbesar saya. Mending tes grammar, reading, writiting atau bahkan listening deh daripada harus nyoba ngomong pake Bahasa Inggris. Jadi, kalau ada yang cerita kalau paling sulit adalah ngomong bahasa Inggris, seriously, I feel you!

Beruntung pada saat itu, sahabat saya, Rikha, sangat persuasive mengajak saya ikut UKM Debat ini. Hari-hari awal berangkat rehearsal benar-benar menyiksa. Rasanya ada banyak alasan yang bisa saya temukan mulai dari mendung, sampai bikin tugas, untuk tidak pergi. Ketakutan saya mulai dari teman-teman lain yang sudah punya lebih banyak pengalaman bahkan dari SMA, sampai kemampuan speaking mereka yang jauh lebih bagus, sampai atmosfir kompetitif yang tidak bisa dihindari.

Dan ya, empat tahun berlalu, saya ternyata sangat menyukai berada di organisasi ini. Hal yang saya sukai, ternyata menawarkan lebih dari apa yang saya harapkan pada saat itu tentang belajar ngomong dengan bahasa Inggris. Saya belajar banyak tentang menjadi lebih baik bersama-sama, sportifitas, keterbukaan, impian, idealisme, being real, dan lebih dari itu, orang-orang yang bisa saya sebut my people! Berada di organisasi ini saya belajar untuk mau mencoba, dan tetap bertahan di dalamnya. Bahwa apapun, baik atau buruknya pengalaman, it’s all about perspective.

Tetapi, memang ada kalanya, kita akan tahu dengan pasti bahwa hal baru yang kita coba bukanlah untuk kita. Di Nottingham ini, di minggu awal-awal saya mencoba beberapa hal baru yang mungkin tidak akan saya lakukan di Indonesia seperti main ice-skating dan main polo. Memulainya sama-sama malas. Tapi, pada saat mencoba ice-skating, saya tahu, it’s not for me – I just know it. Tapi berbeda dengan polo, I’m not good at it, but I like it! Well, you just can tell yourself.

Ya, terkadang yang saya butuhkan adalah reach out for help, dan mencoba. Untuk orang yang banyak malasnya seperti saya, ‘memaksakan diri’ mencoba dan ‘memaksakan diri’ untuk bertahan pada apa yang saya pilih dan baik untuk saya adalah penting. Dan yah, dari ‘keterpaksaan’ ini, ternyata banyak kebiasaan baru yang saya sukai! Saya nggak akan pernah tahu saya akan menyukai hal itu atau tidak, whether that’s for me or not. Tapi yah, nggak akan pernah tahu kan kalau nggak pernah dicoba. As long it’s still within the boundaries (what you believe and your priority), why don’t just give it a try?